Sabtu, 29 Mei 2010

Lelaki Sebelas Amanah


Sore kemarin, hujan teramat deras hingga lepas maghrib. Janji untuk mengajak anak-anak keluar membeli makanan kecil pun tertunda hingga malam menjelang. Hujan masih rintik-rintik ketika saya dan kedua anak saya keluar rumah. Sementara anak-anak saya ceria mencari bintang, saya terlibat obrolan mengasyikan dengan bapak pengayuh becak yang akan mengantar kami ke tempat membeli makanan.

“Anaknya berapa, Pak?” tanya bapak separuh baya itu. “Sementara dua dulu, Pak. Ini pun saya kerepotan,” jawab saya sambil menoleh, tampaklah wajah tegar yang menyimpan banyak pengalaman. “Wah, dua sih belum repot, Pak. Anak saya sepuluh….”

Tertegun hati ini, kembali saya menoleh untuk menatap lebih lama wajah yang baru saja menerangkan bahwa anaknya sepuluh. Di benak saya, hanya terlukis angka “10” terus-menerus memutari seluas jagad benak ini. Hati pun bertanya, “Sepuluh?” Saya bukan tidak percaya dengan kata-katanya yang tampak jujur, justru saya tidak yakin akan kesanggupan saya jika saya diberi amanah sebanyak itu, yang jika ditambah satu istri berarti ada sebelas amanah.

Mengayuh becak seharian penuh sejak pagi masih menggeliat hingga malam ketika orang seperti saya beranjak ke alam mimpi, sungguh tak pernah masuk akal saya untuk bisa menanggung amanh seberat itu.. Malu juga saya ketika mengatakan, “Baru dua, Pak. Ini juga sudah kerepotan.” Padahal, setelah saya mengucapkan kalimat itu, langsung disambar pernyataan dari bapak pengayuh becak yang seolah-olah menganggap saya ini cengeng, lemah dan bukan lelaki. Ya, karena anaknya sepuluh, tapi tak ada satu kalimat pun darinya tentang repotnya mengurus anak.

Dalam perjalanan kembali ke rumah, saya tergumam, seorang guru lagi saya temukan malam ini. Anak-anak tetap pada keceriaannya menghitung bintang begitu rintik berhenti, sementara saya terus dibuat tertegun oleh ucapan dan petuah lelaki pengayuh becak itu. “Anak-anak itu amanah dari Gusti Allah, Pak. Dia tidak akan mengamanahkannya kepada kita kalau Dia tidak tahu kemampuan kita. Dia tahu persis bahwa lelaki seperti kita mampu dititipkan amanah.” Kakinya memang mengayuh becak, tapi lidahnya tak henti bertutur indah.

“Malu rasanya kalau kita mengeluh dititipkan amanah ini, wong Gusti Allah pun tahu kemampuan kita toh…” Ya, malu juga saya terhadap bapak. Anehnya, beraninya saya bertanya soal rezeki, “Setiap amanah itu memang ada imbalannya, Pak. Lha seperti bapak menumpang becak saya ini. Bagi saya, bapak dan anak-anak ini, adalah amanah saya selama masih di atas becak saya. Tanggung jawab saya adalah mengantarkan ke tempat tujuan, soal saya harus kehujanan dan besoknya sakit, itu bagian dari resiko saya menanggung amanah. Imbalannya, ya setelah bapak turun pasti ngasih uang toh ke saya?”

Lama saya merenungi kalimatnya, serasa tidak yakin kalimat itu keluar dari bapak tua pengayuh becak. Saya seperti baru saja ditampar-tampar yang menyadarkan diri bahwa Allah tak pernah berdiam diri untuk setiap amanah dan tanggung jawab kemanusiaan yang kita jalani sebaik-baiknya, sesuai dengan anjuran-Nya.

Sampailah saya di rumah, entah seberapa banyak anak-anak saya menghitung jumlah bintang yang sebenarnya hanya terlihat sedikit itu karena baru saja turun hujan. Sama seperti saya yang tak tahu harus membayar berapa kepada bapak pengayuh becak ini untuk pelajarannya malam ini.

”Jika setiap tempat adalah sekolah, maka setiap orang adalah guru.”

(Oleh: Bayu Gawtama)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar